Copyright © Evia Nugrahani W Koos
All photos in this album are taken by Evia N W Koos, all rights reserved.
Agak membingungkan dan memerlukan niat sekuat baja untuk mengejar terbitnya matahari di negeri Utara ini. Bila musim hangat telah tiba, hari menjadi panjang dan matahari rajin menampakkan diri sejak sekitar pukul 4 pagi hingga pukul 8 malam. Setelah menunaikan kewajiban, rasanya paling enak kalau kembali lagi bergelung di balik selimut. Bila musim dingin mulai membayang, hari menjadi pendek dan matahari terkadang tersipu malu bersinar. Kalaupun bersedia menyinari bumi kisarannya dari sekitar pukul 8 pagi hingga pukul 4 sore.
Berburu matahari di musim dingin? Butuh perjuangan yang panjang. Perlindungan tubuh yang rapat bagaikan ninja dan mirip bungkusan lonthong adalah ritual yang harus dilakukan bila tidak ingin kulit merekah mati membeku.
Sudah lama saya menginginkan matahari pagi di kota ini, karena alasan yang saya sebutkan di ataslah yang membuat saya tertahan terus. Sampai akhirnya di akhir minggu kemarin belahan jiwa membangunkan saya sambil menunjukkan pemandangan di luar jendela yang terbuka lebar. Subhanallah Allahu Akbar, cantikkkk sekali. Adzan Subuh baru saja berkumandang dan pendar matahari mulai membayang pertanda hari akan cerah dan mentari akan ramah tak akan malu malu.
Tanpa menunggu lama, sayapun langsung mandi dan menunaikan kewajiban. Meraih perlengkapan ninja dan juga sarung kampung yang selalu setia menemani saya kemudian meluncur keluar dan melesat ke danau Superior yang jaraknya hanya 5 menit dari rumah. Danau air tawar terbesar di dunia.
Perlahan tapi pasti, sang mentari menampakkan diri dengan pendar pendar cahaya keemasannya. Tanpa saya sadari, terlihat rembulan secara samar di atas mentari yang terlihat di foto nomer 5. Subhanallah, indahnya ciptaanMu ya Allah.
Hehehehehe…
Musti adaptasi lagi. Atau, pake aja baju tebel.
Cakeep, mbak Via, walau pun aku udah nggak tahan sama hawa dingin MN, kalii… 🙂
jangan lebar2 mangapnya, ada lalat 😀
*cuma bisa mangap aja ga bisa komentar….
saking speklesnya..
lha katanya dah punya 18-200 mm. Kok masih perlu 12-24 mm?
saran..??? Lensanya kurang wide, coba kalo diambil dengan lensa 12-24 mm hasilnya pasti sangat kereeeeeen… 🙂
dalam waktu dekat aku ada rencana hunting Merapi Mount Peak…coba minjam dulu lens 12-24 mm, liat aja hasilnya… 🙂
trus pake angle seperti foto yg satunya sepertinya lebih ok..
Iya mbok, aku sukaaaaa buanget ama foto ini. Birunya manatahan. Makin sayang dwehhh ama Nikon.
Lain kali mungkin ambil dengan angle yang berbeda. Ada saran mbok?
Ooo itu maksudnya. Nggak ada jalan sayangnya. Semuanya tertutup salju. Rata pada putih semua.
Maksudku..kalo ada jalannya menuju matahari, kenapa gak disamarkan…jd dapet storynya.. 🙂
mataharinya nggak di tengah kan :))
Jadi cirinya apa dong mbok?
Aku sebenernya masih belum puas dengan ini mbok. ROL nya kurang kuat, soalnya udah terlalu siang. Liat nggak tuh di pojok kiri atas? Samar samar doang.
Ini di pinggir pantai mbok. Jadi sebelah kiri adalah air danau yang membeku. Jalannya, menuju ke arah matahari (sebelah kanan) terus belok ke kiri menuju ke light house. Dari tempat aku berdiri langsung ke light house nggak ada jalan. Bisa sih kalau mau berenang. Mau? :)) Nggak dingin kok, cuman minus 20 C. Qiqiqiqiq…anget kan 🙂
Wahh…kapan puncak lawang seperti ini yah ?? 🙂
kereeeeeeen…biru khas Nikon 🙂
apakah di poto ini ada jalan, mbok?
iya yahh..ada bulannya ? bulannya telat… 🙂
warnanya okeh 🙂
hweheheh… cakep 🙂
Makasih Angky. Sebetulnya bukan jepretannya yang bagus, tapi pemandangannya yg bagus dengan saat yang pas.
wawww bagus jepretannya Evia
kayaknya asik banget nih…
beda dooooonk..
suasananya itu loo he..
pemandangannya nice buanget. Subhanallah.
kerok bunga es di kulkas aja Lin. Sama aja :))
hmmmmmm…
jadi pengen main salju …
hehehe
nice.. nice… nice…
Amienn. Moga2 ketemu yg indah indah di akhirat nanti.
masih di dunia cakepnya gituh, palagi di akhirat nanti yak…
iyo mas. Saking terpesonanya, tanganku njepret sambil mulut nggak brenti2 memujiNya.
cakep2…, subhanallah…