
Air terjun Cimarinjung yang letaknya persis di belakang rumah si ibu.
Adalah bapak yang menyemai benih benih kecintaan saya akan backpacking puluhan tahun silam. Duduk lesehan menikmati sarapan di atas trotoar dengan hanya beralaskan tikar lusuh. Saya yang hanya bisa terbengong bengong takjub melihat bapak yang makan dengan lahap. “Wis ndang gelis. Ra ono sing kenal ki ye. (Udah cepet habisin makannya. Nggak ada yang kenal disini),” ujar bapak mengagetkan saya. Seusai makan dilanjutkan dengan berjalan kaki menyusuri hutan kecil menuju Parakan, desa dimana bapak dibesarkan. Menikmati sarapan nasi jagung buatan nenek, makanan harian masa kecil bapak.
Itulah pertama kalinya perjalanan kami, saya dan bapak ke desa Parakan sewaktu saya masih di bangku Sekolah Dasar. Pengalaman pertama yang begitu melekat hingga kini.
Semenjak itu saya mulai tertarik dan jatuh cinta melakukan perjalanan dengan cara yang menurut ibu saya “cari sengsara”. Semula memang tidak mudah mendapatkan ijin dari ibunda. Seiring dengan berjalannya waktu dan dengan berbagai pertimbangan, restu itupun terucap juga akhirnya.
Satu persatu untaian perjalanan dan kejadian kejadian unik yang menyertai perjalan tersebut tergambar jelas di benak saya. Salah satu dari sekian banyak pengalaman yang tak mampu saya lupakan adalah pengalaman berbackpacking sendirian di daerah Ujung Genteng Jawa Barat.
Tak jauh dari sana ada air terjun Cimarinjung di desa Ciemas Jawa Barat. Meskipun dekat dengan Ujung Genteng, untuk mencapai desa tersebut dibutuhkan waktu tiga jam naik ojek. Jalan yang berupa makadam sudah amat rusak, naik turun dan bopeng disana sini membentuk kubangan kerbau di musim hujan. Naik kendaraan roda empat amat tidak mungkin kalau tak ingin kendaraannya ambrol dan rusak. Menurut penuturan penduduk setempat, jalanan sempat diperbaiki menjelang kampanye beberapa tahun silam. Usai pemilu, usai pula para caleg menarik simpati. Habis manis sepah dilepeh.
Matahari sedang terik teriknya sesampainya saya di air terjun yang ternyata sangat sepi itu. Gemuruh air yang deras tak henti hentinya mengguyur membasahi dinding cadas yang berwarna coklat muda. Sambil menunggu matahari tergelincir di ufuk Barat saya nongkrong di sebuah rumah yang juga sebuah warung rokok tak jauh dari air terjun tersebut. Bersama tukang ojek yang setia menunggui saya.
Jangan dibayangkan rumah tembok. Ini kawasan terisolir dan jalan di depannya berupa tanah. Rumahnya berdinding anyaman bambu dengan dapur sederhana berada di luar. Bersebelahan dengan kamar mandi yang berpintu selembar kain usang. Namun begitu, air kamar mandi yang begitu segar dan jernih pasokan langsung dari mata air yang mengalir tanpa henti.
Beberapa tahun silam, sejumlah peleton tentara mengadakan latihan di desa itu. Selama tiga bulan penuh rumah itu menjadi pemasok air untuk rombongan tentara dan dalam sehari 50 tangki air ludes digunakan oleh mereka yang dipasok dari mata air tersebut. Rumah sederhana itu ditinggali oleh seorang ibu dan seorang anak lelakinya. Lincak bambu menghampar di dalam rumah dimana saya duduk dan ditemani oleh sang ibu. Cemilan ringan dan jejeran minuman bersoda yang jumlahnya tak lebih dari jari tangan hanya ditahan oleh seutas kawat memenuhi jendela kaca depan yang tidak begitu besar. Saya membeli krupuk yang dijual di rumah warung tersebut untuk meredakan cacing cacing di perut yang mulai memberontak. Adanya cuma itu. Tetapi mata saya mendapati adanya pohon kelapa dihalaman depan.
“Ibu, boleh saya memesan kelapa?” pinta saya pada pemilik rumah yang dibalas dengan tatapan heran.
Mereka menjual minuman ringan tapi justru saya meminta kelapa. Meskipun begitu, mereka bersedia memetikkan untuk kami. Dua butir kelapa muda terhidang di depan hidung. Satu untuk saya dan satu untuk pak ojek. Tak ada sedotan. Diglogok begitu saja. Segarrrr sekali mengalir ke tenggorokan.
Wajah si ibu yang keriput berbalut senyum dengan sorot matanya yang menyejukkan menebarkan keramahan tulus. Betah saya berlama lama berada di dekatnya meskipun celotehannya hanya mampu saya cerna sedikit. Ini dikarenakan si ibu berbahasa Sunda dan saya tidak menguasai bahasa Sunda. Saya sudah menjelaskan berkali kali kalau saya tidak mengerti. Tetapi rupanya beliaupun tidak mengerti bahasa Indonesia. Jadilah saya pendengar yang baik, manggut manggut sambil cengar cengir. Sesekali saya tanggapi dengan “oh…oh…” seolah olah saya mengerti. Terkadang, tukang ojek yang sedang nongkrong di luar dan ngobrol dengan beberapa penduduk membantu menterjemahkan. Sesekali si ibu ke dapur, ke kamar atau ke pojok ruangan yang tak seberapa besar itu untuk mengerjakan ini dan itu sambil tetap berceloteh.
Terbuai oleh semilir angin yang berhembus, tanpa sadar sayapun jatuh tertidur menggelosor di atas lincak bambu itu. Di tengah tidur yang tidak sepenuhnya pulas itu saya merasa diselimuti dan disorongin bantal oleh si ibu. Masya Allah. Diam diam saya menangis dalam hati mendapati perhatian kecil yang tulus itu.
Saudara bukan, teman apalagi, kenal juga baru saat itu.
Tidak berhenti sampai disitu. Seusai memotret air terjun dan hendak melangkah pulang mereka meminta saya menikmati makan sore yang sudah terhidang di meja makan. Saya sungkan untuk menolaknya dan mereka juga tidak mau diberi uang. Nasehat yang pernah saya dengar, jangan pernah menolak tawaran makan penduduk lokal, nanti mereka tersinggung. Menunya sederhana, berupa nasi yang baru selesai masak. Asapnyapun masih mengepul hangat. Ditemani oleh lauk ikan pindang dengan kondimen garam dan irisan cabe. Makanan sederhana tapi inilah salah satu makanan ternikmat yang pernah saya rasakan.
Seusai makan, melalui bapak ojek sebagai penterjemah, si ibu menawari saya bermalam di rumahnya karena kasihan dengan saya. Perempuan jalan sendiri dan masih harus menempuh perjalanan jauh di tengah malam. Waktu itu sudah menjelang Maghrib dan saya masih harus menempuh perjalanan naik ojek selama tiga jam melewati hutan dan beberapa desa untuk kembali ke penginapan.
Dengan amat berat hati terpaksa saya menolak tawarannya karena barang barang saya ada di penginapan. Bodohnya saya, tak terpikir untuk menanyakan nama si ibu itu.
Perjalanan pulang ke penginapan, kami melewati jalan pintas karena laut sedang pasang sehingga bisa diarungi perahu. Lumayan menghemat waktu perjalanan. Motor dinaikkan ke perahu. Bukan perahu besar tetapi perahu kecil yang hanya bisa memuat lima orang. Motornya nangkring di depan. Itupun ban belakangnya saja sedangkan ban depannya mendongak menantang langit.
Sesampainya di penginapan hari sudah larut, mungkin jam sembilan lebih dan tentunya nggak ada warung makan yang buka. Saya mulai lapar (lagi). Lagi lagi saya ketiban rezeki. Pemilik penginapan yang juga seorang nelayan menawari saya untuk makan. Nggak mau dibayar. Menu makannya adalah hasil tangkapan mereka hari itu. Besok paginya lagi lagi saya diajak sarapan bareng. Sudah seperti keluarga sendiri.
Usai sarapan, saya meneruskan perjalanan ke tujuan berikutnya. Rupanya keberuntungan saya masih berkelanjutan. Salah satu rombongan tamu penginapan juga bertujuan sama. Mereka menawarkan tumpangan untuk saya. Alhamdulillah.
Sampel tawas buat penjernihan air.
O saya ingat!!Itu yang cerita tentang pemeriksaan sampel air di laboratorium di Jakarta kan?Eh kok sampel air ya? Aduhh apa ya, kok udah lupa. Padahal bacanya masih bulan kemaren.
Jadi teringat aku akan tawaran lunch oleh rekanan yang saya tolak, karena berbau upaya penyuapan.Padahal tanpa ajakan lunch itu, penawaran sang rekanan saya anggap OK.Karena rombongan yang saya pimpin tampak kecewa, aku traktir mereka di Satay House Senayan.Setelah saya jelaskan kenapa aku tolak, baru mereka ngangguk-ngangguk!
Betul sekali.
Nikmat karena disajikan dengan tulus ikhlas!
iyah yang di pantai pangumbahan itu…^^
jadi kampungnya ortunya Ayu deket tempat penangkaran penyu itu?
jelas paket hemat haahaha..iyah, enaknya ASI memang begitu, ga tumpah, ga pake botol dan tidak mngandung melamin hihi..^^
paket hemat atau paket jumbo :))bagus atuh masih mau ASI. Justru karena ASI, makanya bisa dibawa kemana mana. Dulu kan aku juga gitu waktu bawa2 Menik. Laper tinggal dlesepin aja balik baju, udah kenyang bahagia dia. Gak perlu bawa botol susu, musti ngrebuslah, musti bawa sufornyalah, hadeh rempong. Apa yang emaknya makan, dia juga ikut makan sepanjang itu gak pedes. Ngedidik anak tahan banting juga sih.
iya mbak, pintunya yang suka digebugin…hhihi umurnya baru 23 bulan…dan masih ASI ga mau sufor makanya nempel banget ke sayah..saya sih jarang kemana2 mbak, hampir 24 jam di rumah hihi, paling jalan2 kalo wikend aja itu juga sepaket sama suami dan kirei:D
hahahaha…digebuki sapu? kwkwkwkwkwwkwkw….Umur berapa Yuk anaknya?Ya mau gak mau ya dibawa kemana mana, lha aku demen blasukan. Daripada ditinggal anaknya mewek, kuajak aja sekalian.
betul..saya malah kalo mandi pintunya ga boleh ditutup, kalo ditutup suka digebugin pake sapu..:Dsuka dibawa2???? wah…hebat, saya ga berani..*jadi sebenernya ibuknya yang takut, anaknya sih mau ajah:D
iya juga ya, jauh. naik motor 3 jam. anak balita emang nginthilan. Jangankan ke warung, emaknya e’ek bentar udah dicari’in. Mau mandi musti cepet2an, kalau enggak, ditungguin di depan pintu sambil sesekali ketok ketok. Mandi bebek. :(Justru karena nginthilan, enak ngurusnya. Aku sering ajak kemana mana, blusukan kemana mana, naik angkutan pedesaan, naik gunung, arung jeram segala macem.
Ciemas kan jauh mbak..saya malah jarang berpetualang soalnya saya masih anak2 pas udah gede saya tinggal di bandung jadi saya justru ga terlalu hafal setiap pelosok dikawasan sukabumi selatan…bapak selalu ga bolehin saya pergi kemana2T_Tsekarang pas udah dewasa, bingung bawa anak balita yang udah kayak buntut, ditinggal kewarung bentar aja udah nangis jejeritan…
eh ku pernah ke air terjun ini, ada satu warung yg dijaga ibu2. ku foto loh. tp cari dulu ya.ujung genteng byk yg indah loh.
seruuuuuuuu sekali perjalanan dan pengalamannya mbak…..bersyukur dimanapun berada kita masih bisa menemukan ketulusan dan persahabatan tanpa mengenal suku, bangsa, agama maupun profesi.
Tapi yang di pelosok pelosok Alhamdulillah masih murni.
Sayang masyarakat kita makin egois
Suwun mbak. Diinget pelan2, baru ditulis.
Bagus tulisannya! Ayo nulis yg banyak!
sakalangkong ya cong. memorinya dikumpulin pelan pelan. kalau keinget ya ditulis.
iki wis suwi kok mas. tahun 2008. lensa biasa aja. 18-55mm koyoke. suwun nggih
Bravo Kus…… aku teuteup kagus sama caramu jalan2, hebaaattttt……. ayo catet semua perjalananmu, bisa jadi buku panduan bagus, kelak
wah nyamapai keasana juga…kapan nih mbak….pakai lensa apa nih..keren…alus
Amin. Itu salah satu keinginanku dari dulu. Makan nasi jagung. Kebayang gimana nyamlengnya dan telap telep bapakku makan nasi jagung di rumah mbah kakung. Akarku neng kono wis jebol kabeh, mbah kakung sudah meninggal lama sekali. Ini baru aja kok yu, 2008. Anak ditinggal neng omah, bojo dewean neng kene. Hehehehe mbeling yo
mbak semoga bisa makan nasi jagung bareng di Parakan ya…ini kapan mbak kok iso nglayap dewean? kagum deh dgn nyalimu berpetualang 🙂
iya mbak, rakyat sudah pada pinter. Ra gelem diapusi.
Bener banget yu. Bikin ketagihan
Cakep ya air terjunnya. Tapi nggak ke ekspos. Sepi dan jalan kesananya jauh serta susah. Nulis ini juga sekaligus menyampaikan amanat dari mereka untuk mengenalkan daerah ini.
Bisa jadi sih. Tapi tergantung orangnya juga dan tentunya tempat. Kalau di kota udah jarang yg kayak gitu.
Itulah bodohnya saya. Nggak ada kepikiran buat motret si ibu. Nanya namanya aja kagak. *Tepok2 jidat menyadari keteledoran*.Di kota kota kecil, di dusun, di pelosok2 banyak yg kayak gini. Ntar deh Insya Allah aku posting ceritanya satu per satu sambil ngumpulin ingatan.
Jadi jangan salahkan rakyat yo nek ono caleg ngasih duit ke rakyat buat milih dia, tapi pada hari H, rakyat ngga milih caleg itu…..
yang kek gitulah yg selalu membuatku rindu “blusukan” lagi… wis suwe ra blusukan ki… 😦
wiiiiiiiiiih keren air terjunnya
kata nyokap dulu, orang yang nggak punya tidak takut kehilangan apa2 sehingga mereka bisa menerima orang lain dengan tanpa curiga (tanpa curiga mau maling, ngrampok, dsb).dulu aku juga suka kelayaban gini. tapi, di eropa malas aku. hehehe
berfoto dengan si ibu juga kah? diantara berita2 miring tentang masyarakat kita, masih banyak orang baik yng tulus hatinya kayak si ibu ini. syukurlah