PENANG – WARUNG KOPI SITIGUN (1)
Musim panas 2010 sudah di depan mata. Panggilan untuk pulang sudah mulai membuat saya berhalusinasi. Lha mosok orang mbenerin saluran air depan rumah kok seperti penjual semanggi. Mobil pick up milik pemkot Duluth yang sedang memperbaiki jalan, dari jauh nampak seperti gerobak makanan. Betul betul payah tingkat halusinasinya. Harus segera ditanggulangi biar nggak tambah parah.
Akan kemana saya? Pulang sih pulang, tapi terserah akan lewat mana. Saya ingin santai dan tak terbebani. Ikuti saja kemana air mengalir dan kemana angin bertiup.
Angin bertiup ke Pulau Penang, kesanalah kaki saya melangkah menemui seorang kawan tanpa woro woro. Tamu kurang ajar 🙂 Tahu tahu mecungul di warung kopi si kawan yang diberi nama siTigun, sebuah nama yang dicomot dari nama pemiliknya, Gunawan Wibisono.

Malang melintang bersepeda di 117 negara, bersarang di kota New York selama 26 tahun dan akhirnya menclok di Pulau Penang sebagai tempat tinggalnya kini. Tigun bersama sama dengan Sandra sang belahan jiwa yang telah memberinya seorang jagoan Zanarde, bahu membahu membangun sebuah warung kopi di kawasan tua jalan Nagore. Warung kopi bersuasana rumah yang hangat bagaikan rumah di kampung yang menyambut siapapun yang datang sebagai kawan, bukan sebagai pelanggan. Bahkan tak jarang mereka menjadi pengunjung tetap warungnya.
Tentunya kalau kita berniat baik. Kalau niatnya maling, yo digebuki :).
Bukan hanya Tigun dan Sandra yang memperlakukan pelanggan seperti kawan lama, tetapi jagoan mereka Zanarde yang umurnya belum genap dua tahun sudah mampu tebar pesona. Dari anak anak hingga kakek nenek jatuh cinta pada Zanarde yang rajin tersenyum. Begitu mudah membuatnya tergelak. Dunia selalu ceria bila kita berada disampingnya.
Di warung itu, begitu pantat menclok di kursi, saya langsung memesan croissant isi rendang. Sebuah menu yang tidak biasa dan sudah saya incar berbulan bulan sebelum menginjakkan kaki di pulau Penang. Karena bukan peminum kopi, saya memesan teh poci sebagai pendamping croissant rendang. Ah tepatnya bukan pesan, tapi disuguhi. Lha piye, mau bayar musti uber uberan dulu dan itupun tidak berhasil.
Rendangnya enak sekali. Dagingnya empuk dan gempi di mulut tanpa perlawanan. Ah opo seh bahasa Indonesianya gempi? Maksudnya dagingnya ngeprul. Mungkin nenek nenekpun tak akan kesulitan makan rendang ini. Bumbunya boros, itu yang membuat saya merem melek mengunyahnya meskipun kurang pedas untuk ukuran lidah saya. Maklum saja, karena pengunjung warungnya sebagian besar adalah kaum kulit putih yang rata rata belum bisa menerima pesona keganasan cabe.
Akan halnya si Menik, sebagai penggila selai kacang dia memesan jaffle yang diisi pisang dan selai kacang. Jaffle adalah roti tawar dipotong segitiga lantas dipanggang. Karena dua tangkup jaffle belum cukup mengenyangkan bagi perut karetnya, Menik mulai ngelirik porsi saya. Daging rendang yang tinggal dua potong itupun dicomotnya. Karena kesengsem dengan rasanya, bumbu bumbu yang masih menempel di piring, dikoreti sekalian. Sayang katanya.
Setiap pagi kami mampir ke warung itu. Menikmati sarapan dan menyeruput teh poci, memandang jalanan yang sarat dengan lalu lintas, mengagumi bangunan tua yang berderet deret di seputar warung, berbincang bincang dengan Heidi dan Justina, para barista warung. Atau bertukar sapa dengan para pengunjung warung. Tak jarang tetangga kiri kanan nonggo (mampir ke warung) untuk sekedar bertegur sapa dan bermain main dengan Zanarde. Sesekali Tigun dan Sandra menghampiri tamu tamunya.
Di tengah kesibukannya itu, Tigun masih sempat mengajak kami berkeliling warung. Dapurnya terbuka sehingga udara keluar masuk dengan bebas. Warungnya memang dirancang serba terbuka sehingga ruangan terasa sejuk tanpa menggunakan penyejuk udara. Meskipun terbuka bebas, ternyata tikus dan nyamuk enggan mampir. Tikus adalah momok menjengkelkan di negeri tropis ini.
Dengan antusias Tigun menjelaskan kepada kami bagaimana penanggulangannya. Sebagi pecinta lingkungan akut, Tigun tidak menggunakan bahan kimia sama sekali.
Air cucian piring tidak langsung mengalir ke saluran air kotor, namun mengalami proses penyaringan sebanyak empat kali. Sehingga air yang keluar ke saluran got dan kemudian mengalir ke sungai menjadi bersih dan tak berminyak.
Selain itu, Tigun membuat sendiri sabun cuci piring dari enzyme. Salah satu menu di warungnya adalah jus jeruk. Limbahnya yang berupa kulit jeruk tidak dibuang begitu saja namun dihancurkan kemudian dibubuhi gula jawa dan air. Campuran ini kemudian diendapkan selama tiga bulan. Inilah yang disebut enzyme, dan digunakan untuk mencuci alat makan dan alat masak. Minyak sekuat apapun rontok tanpa ampun. Selain itu baunya harum dan tidak merusak kulit. Malah sebaliknya kulit kita menjadi halus.
Bahan inilah yang membuat tikus enggan mampir selain juga air yang mengalir ke got sudah disaring berkali kali.
Tigun juga menggunakan minyak sereh yang dicampur dengan air untuk membasmi nyamuk. Berbahagialah kita yang tinggal di negeri tropis dengan tanaman yang melimpah sepanjang tahun. Dengan mengandalkan alam sekitar kita bisa hidup tenteram tanpa perlu merusak alam.
Bersambung
Ditulis dari rumah di kampung dengan sambungan internet dial up. Saking leletnya bisa disambi klosotan, sarapan, dan merhatiin ibuku yang lagi ngerombeng tumpukan majalah.
Like this:
Like Loading...
Related
ketemu nyinyik maning
😀
detergen beli atau detergen limbah?
wah..hebat banget ya…aku juga kayaknya menggunakan banyak detergen di rumah…
Ayo pak, diaplikasikan di rumah.
Wah perlu ditiru tuh!
sipppppplah bila demikian. Ucapan terimakasihnya salah sasaran. Mustinya dialamatkan ke mas Tigun. Aku sekedar menyampaikan beritanya saja 🙂
Mbak Viaaaaaaa..terimakasih dicatet besar2 trus ditempel dikulkas biar dibaca orang serumah.
dishare mbak, gimana bikinnya.
Vie, aku mulai bikin bio enzim ini, belajar dari orang2 yayasan Budha Tzu Chi. siiip banget, dah aku pake nyuci serbet, lap dapur dan sarung bantal guling. beneran nggak apek… buat nyuci perabotan dapur juga. buat campuran air ngepel lantai.ya kulit jeruk, kulit mangga, sayuran.. pokoke bukan kulit pepaya… mambu busuk klo yang ini. siip dah…. yah.. belum 100 percen ngilangi detergent, tapi setidaknya sudah mulai bikin sejak oktober lalu. setelah di kasi contoh sebotol ama Tzu Chi.ampasnya, aku jadikan pupuknya zodia… tanaman pengusir nyamuk.
Kusssss…. Iya bener hpku buntutnya 20, ayo kirim sms ke nomor itu :p
Nggak tau lulusan apa. Yang jelasnya orangnya serba bisa dan satu lagi, rodo gendeng :)) Mungkin karena kebanyakan ilmu jadi rada gila. croissant rendang, makanan fusion kan? Asik lho Sus memadu padankan makanan klau seleranya cocok. Suamiku malah suka spaghetti sambel terasi. Cocok tuh rasanya dan lebih nendang buat lidah kita.
Weleh..weleh.. salut banget sama anak bangsa yg kreatif spt ini Vie..lulusan ekologi ya dia..thanks for sharing the adventure dear.. ga sabar nunggu yg berikutnya..seriously, croisant rasa rendang?? suami yg orang p’cis bisa shock neh dengernya..hehehhe
Cong cong balicong, aku belum ke Padang.Hapeku yang lama dah tewas, nggak pernah diramut. Sekarang pake nomer baru. Sepertinya aku masih punya nomer hapemu. Belakangnya 20 kan?
Kus, kalo ke daerah tatar Sunda ato ke Jakarta, jangan lupa ngabarin. Sini aku menta hp mu :p
Engkuuussss kangeeennnnn….. Udh sampe rumah ternyata, mampir ke Padang gak ? Ayo lanjutin ceritanya dong *maksa*
Suwun mbak TJ. Nantikan kisah selanjutnya yang nggak kalah menarik 😀
Menariiiiiiiiiiiiiiiiik, top markotop tulisanna!
Huaaa….sing dirasani wis nongol. Oooo 117 toh? Kupingku kesumpelan rendang, yo maklum nek ngono. Yo wis tak edite nek ngono. Yo mengko tripote tak ruwat, didusi banyu kembang pitung rupo. Kembang lambe, kembang tembelekan, kembange bank, dll 🙂
Matur nuwun, sudah ditilik’i dan kemudian dipromosiken… :)Sedikit koreksi, ya diajeng. Yang benul, stempel yg ada dlm beberapa buku passport cumak 117 negara. Bukan 176. Pengen jugak sih bisa sampai 176 atau lebih. Ntik kalok bedhes Zan sudah rada gedean dan bisa manggul ransel mungkin.Oh iya. Itu Kyai Tigangsampar (tripod kamsudnya) begitu sampai di tangan, sebaiknya diruwat. Sudah berapa kali hampir minggat…heheh.
Wis neng kampung ki mbakyu. Minta nomper hapenya dwongggg. Di japri aje nggih.
Kondo sih mbak, cuman nggak bilang kapan tepatnya. Ming kiro2 bae.Mulakno ki mas Tigun melongo ujug2 aku mbejudul neng warunge.
Wah akeh tenan foto2nya Zanarde. Mungkin hampir 75 persen isi memory card selama di Penang adalah jagoan cilik itu. Obyek foto yang cihui dengan segala pose.
Mas Tigun nggak segan2 berbagi ilmu yu. Ilmune ra entek2 dicritakno. Aku nganti ngowoh ngowoh olehe ngrungokno. Diselingi cekakakan segala, lha wong ngomonge pating bledos khas Suroboyo. Tumbu oleh tutup wis. Ludrukan pindah. :))
Hahahaha…iya ya. sambil ngernet sambil nyemil sana sini. Nggak sadar, tahu tahu martabak sepuluh mlebu weteng.
Skrg lagi di sblh mananya Indonesia?
ealah jebule ora kondo kapan tekone karo sing duwe warung tho? hehehe… nek perkoro uber2an kuwi pancen trade marknya mas Tigun 😀
gak ada foto Zanarde? ditunggu sambungannya…
duh, kapan ya giliranku nang warunge mas Tigun… pengen belajar banyak… 😀 ups… sing bener pengen makan croisant rendang ding… hihihi
internet lelet ora opo2.. kan sambil di temani tahu tek, gado2, martabak, dan konco2nya.menarik sekalee critanya.