Belum ada lima menit log in, ada yang towel towel di lapak sebelah.
“Kamu kemana aja? Hilang ditelan bumi nggak ada kabarnya.”
Dilihat dari namanya, aku enggak kenal. Cuekin saja. Tapi di sapaan berikutnya, aku enggak bisa cuek lagi.
“Gondes!!”
Mak jegagik, kaget!! Sebab hanya segelintir orang yang memanggilku dengan sebutan gondes. Sebuah sapaan tak resmi untuk kami, delapan manusia hutan yang dipertemukan oleh nasib dan minat yang sama belasan tahun yang silam.
****
Bermula dari tawaran sang Bayu, seorang kawan yang aku kenal di sebuah perusahaan outbound di Jakarta dan sama sama bekerja di perusahaan tersebut sebagai tenaga musiman. Suatu saat, sewaktu diriku sedang menganggur. “Cak, gelem ngewangi Kontiki yo? Lagi akeh tamu.” (kang, mau bantuin Kontiki? Lagi rame tamu nih). Cak adalah panggilan akrab di Surabaya untuk seorang pria. Bayu memang memanggilku cak, meskipun sudah jelas jelas tahu aku perempuan. Sedangkan Kontiki adalah sebuah perusahaan penyelenggara perjalanan petualangan dimana Bayu bekerja. Hmm…, kalau dibilang perusahaan kok rasanya terlalu besar ya. Ini cuma sekumpulan orang yang memiliki hobi yang sama dan mendedikasikan hidupnya untuk menekuni hobi menjadi sebuah mata pencarian dan sekaligus ladang amal, karena beberapa di antara kami menjadi anggota tim SAR (Search and Rescue) Nasional.
Kembali ke ajakan sang Bayu tadi, ajakan yang terlalu sayang untuk dilewatkan begitu saja. Tanpa berpikir panjang bergabunglah diriku di Kontiki, menjadi tenaga pemandu wisata sekaligus porter atau kuli ransel. Istilah temanku “kuras” kependekan dari kuli ransel. Ah, apapun istilahnya, nggak penting. Yang jelas, tugas kami adalah menyervis tamu.
Saat itu sedang musim ramai. Bulan Juni hingga September adalah saat di mana penduduk negeri empat musim menghabiskan liburan musim panas di negeri surga bermandi matahari.
Kami melewati hari demi hari menyusuri desa desa di kaki gunung, merambah kawasan pedalaman, berpindah dari hutan satu ke hutan lain. Kami hanya turun ke kota untuk belanja keperluan logistik sekaligus untuk memulihkan tenaga.
Sebagai satu satunya kru perempuan tugas utamaku adalah memasak, bersama dengan Bayu yang memiliki pengalaman membantu warung salah satu saudaranya. Karena tenaga terbatas sedangkan tamu yang datang Alhamdulillah tak berhenti mengalir, tugas kami pun di rotasi. Yang tadinya memandu tamu di hutan, besoknya mungkin jaga warung *kantor* untuk menyiapkan peralatan dan segala tetek bengek. Yang tadinya jaga warung bisa jadi nantinya nongkrong di base camp yang lokasinya di rumah rumah penduduk yang berlokasi di tempat tempat terpencil.
Tetapi aturan rotasi tidak berlaku untuk tugas memasak, sesederhana apapun itu. Karena tak ada satupun dari para lelaki itu yang bisa memasak kecuali Bayu tentunya. Tempat kami memasak berpindah pindah mengikuti di mana rombongan tamu akan menginap. Dan itu bisa di rumah penduduk atau di tengah hutan. Meskipun di tengah hutan, masak besarnya tetap kami lakukan di rumah penduduk.
Kami memasak dengan peralatan segrambeng yang diusung dari kantor di kota dan diangkut dengan jip tua tahun 60’an yang masih tangguh. Maklum saja, rumah penduduknya ada yang di kaki gunung, di pinggir sawah bahkan ada yang di tengah hutan. Kendaraan biasa tak bisa masuk. Makin terpencil tempatnya, makin senang para tamunya. Penduduknya sendiri mengandalkan sepeda onthel selain juga jalan kaki sebagai transportasi harian. Tapi ada juga yang memiliki sepeda motor meskipun enggak banyak.
Menggunakan peralatan memasak milik penduduk tak mencukupi waktunya. Meskipun tamunya tak banyak, selera makan mereka begitu menyenangkan walaupun makanan yang kami hidangkan adalah makanan kampung. Eksotis bagi mereka. Makanan yang disajikan dalam piring anyaman lidi dan dialasi dengan daun pisang yang pohonnya banyak bertebaran di kebun penduduk.
Makanan yang disiapkan tidak terlalu sulit. Di pagi hari kami menyediakan pisang goreng, singkong goreng, ubi goreng, kacang rebus, sayur pecel, nasi goreng. Semuanya kami siapkan sendiri, kecuali saus kacang untuk pecel dan bumbu nasi goreng yang menggunakan bumbu instan. Kami hanya merebus sayur sayuran dan menggoreng tempe tahu sebagai lauknya. Terkadang juga membuat ceplok telor bila ada permintaan.
Siang hari kami tidak memasak berat. Hanya menyediakan cemilan untuk bekal para tamu selama mereka menyusuri hutan ataupun mendaki gunung. Untuk makan malam, barulah kami menyediakan makanan yang lumayan berat dan mengandung daging seperti sate ayam a
tau soto ayam dengan segala pendamping soto. Atau juga oseng oseng sayuran bagi tamu vegetarian. Tapi biasanya, oseng oseng sayuran ataupun cap jae *bukan salah tulis* buatan kami menjadi rebutan tamu yang bukan vegetarian karena menurut mereka rasa sayuran olahan Indonesia begitu sedap dan enggak membosankan.
tau soto ayam dengan segala pendamping soto. Atau juga oseng oseng sayuran bagi tamu vegetarian. Tapi biasanya, oseng oseng sayuran ataupun cap jae *bukan salah tulis* buatan kami menjadi rebutan tamu yang bukan vegetarian karena menurut mereka rasa sayuran olahan Indonesia begitu sedap dan enggak membosankan.
Para tamu yang non vegetarian ini sering iri karena tamu tamu vegetarian mendapatkan masakan sayuran yang istimewa. Oseng oseng dan cap jae sangat istimewa menurut mereka. Ya sudah daripada ribut kami sering sering bikin oseng sayuran dan cap jae.
Selain sayuran, sajian khas lainnya adalah…. buah. Karena dipetik langsung dari kebun penduduk.
Satu pagi pak Sukanaya *bapak pemilik rumah*, menyediakan sekeranjang markisa. Selain untuk dikonsumsi para tamu, tim kamipun juga mendapat bagian. Dari situ aku tahu bahwa pak Sukanaya memiliki kebun markisa. Sebagai penggemar berat buah markisa, aku tak menyia siakan kesempatan itu. Melihat aku makan markisa dengan antusias (dengan kata lain nggragas), spontan pak Sukanaya menanyaiku. “Ibu suka markisa ya?” Tanpa tedeng aling aling, aku menjawab dengan bersemangat, “Bukan cuma suka pak, tapi cinta banget. Buah kegemaran ini.” Sambil kedua tangan sibuk menggencet markisa satu demi satu. “Oooooo….” hanya itu komentar bapak Sukanaya sambil senyam senyum maklum melihat kerakusanku.
*Catatan gak penting:
Waktu aku masih tinggal di Duri provinsi Riau, hampir selalu membeli markisa di pasar tradisional yang harga sekilonya 2.500 rupiah di saat harga di pulau Jawa 10.000 rupiah lebih per kilo.*
Keesokan paginya teronggok markisa di amben luar rumahnya pak Sukanaya. Gerombolan markisa itu ditempatkan dalam dua wadah yang terpisah. Yang satu ditempatkan dalam keranjang dan yang satunya dalam baskom besar. Begitu melihat saya nongol di halaman depan, Pak Sukanaya yang baru saja pulang dari kebun berujar: “Ibu, ini markisanya saya pisahkan. Untuk tamu ada di keranjang. Ini khusus untuk ibu.” Sambil tangannya menunjuk ke baskom besar. “Hah??? Nggak salah? Banyak sekali pak?” Sontak reaksiku mendapat respon dari seorang kawan, “basa basi lu Vi.”
“Hoaaaaaaa…..terima kasih banyak bapak.” Betapa kalap dan senangnya diriku, sarapan markisa segitu banyak. Dan itu bukan sehari itu saja, tetapi setiap kali kami menginap di rumah pak Sukanaya. Hal ini mengundang kecemburuan seorang kawan.
R: Ih Evi enak bener tiap pagi dapet sekeranjang markisa. Aku mau dong.
E: Yaela, kan nggak aku makan sendiri. Kamu juga kebagian.
R: Tapi kamu makan yang paling banyak karena aksesnya paling cepet. wekkkk.
E: Ya udah, tugasnya gantian. Aku jalan bawa tamu dan kamu di sini nyiapin makanan. Mau nggak?
Hehehehehe….nyerah deh si kawan nggak bisa ngomong secara dia juga gak gape masak.
(bersambung)
inngih yu………gak sampe setahun wes iso panen sam keranjang
weleh aku malih pengen duwe bibite markisa. iku sing ditandur apane? bijine tah?
gak hawa dingin yo isok urip kok mbak…….malah nang omahe koncoku sekitaran sepanjang wes berbuah uakeh…….depan rumah dikasih kayu buat numbuh,klo berbuah maah kayak lampu saking akehe
ketoke kudu neng hawa dingin nek nandur markisa kuwi yo?lanjutane, sik ngenteni kulak mood disik. hihihihihi
sambungane kapan iki?keriwas ngenteni,sampe jamuren……….mgemeng2 soal markisa,dadi inget sampe sekarang sama sekali gak berhasil nanam pohonnya,soale selalu dadi satapan tikus di halaman belakang,ngiri aku karo koncoku sing omahe ono pohon markisa dan sudah panen bolak-balik
weleh weleh…bukan karena hebat sih mbah, tapi karena dianggap setara. Makan makanan yang sama, susah senang ditanggung bareng, gak ada istilah manja menyek menyek. Gak ada angkutan, ya jalan bareng2 berkilo kilo panjangnya tanpa mengeluh.
Kalau yang langsung dimakan, gambarnya seperti ini:warnanya oranye tua kalau udah mateng. Gak usah dikasih gula udah manis.
wah jadi dikau ini sudah dipriakan oleh konco koncomu yah Via wakakakakak berarti diakui kehebatannya :))
kayaknya jenis yang kedua itu mbak, warnanya hijau, walau pun dah matang tetap hijau. sama ibu memang biasanya di cong itu, dikasih air hangat sama gulu trus diminum. markisa yang langsung dimakan, kayaknya malah belum pernah makan *sambil nginget-inget* 🙂
Buah markisa ada dua macem Tah. Yang aku makan ini buah markisa yang memang bisa dimakan langsung. Kalau yang dijadikan sirup, setahuku kalau dimakan langsung rasanya agak kecut.
Gondes = gondrong ndeso. Hahahaha…Jaman segitu panggilan ngetrend tuh dan biasanya buat cowok. Belum pernah dengar kalau cewek dipanggil gondes juga, kecuali di timku itu.
salah satu dari temen2 Kontiki itu. Nyarinya niat banget.
Buah markisa ada dua jenis mbak Nur. Yang langsung dimakan bentuknya bulet banget dan kalau matang pohon warnanya oranye sedangkan yang dipake buat sirup, agak lonjong dan warnanya hijau.Nah yang pohonnya ada di rumah mbak Nur, markisa buat sirup atau markisa buah?
Hihihihi…iya.Orang Jawa kan kalau ngomong cap jae, karena medoknya.
Disambung pake tali rafia :)*betapa garingnya*
Bijinya kan kecil kecil, iya ikut dimakan. Ada yang cara makannya disendokin, kan lembut. Tapi kalau aku ya langsung glogok. Manis manis seger rasanya.
Seblaknya dipinjem bentar sama Harry Potter wekkkk…
Iya, ngetrend banget jaman itu. Dan biasanya buat panggilan cowok bukan buat cewek.
Tunggu Fadhlan rada gede, ntar diajak jalan jalan juga. 1.5 tahun sudah bisa, apalagi kalau nyusu kan. Gampang itu kalau laper, gak bingung cari air panas buat bikin susu.
Hahahaha….Jowo deles tenan.
Bonus lainnya, kenal banyak orang. Angkat ransel? Sengkleh. Hihihihi..Dulu masih muda enak enak aja, kuat ngangkut ransel berat.
Duri kan sak uprit yo, hampir kenal semua penduduknya. heheheheeh…
mbaaakkk… aku belum pernah makan buah markisa seger. minum sirupnya aja udah enak gituu :Dasyik yoo jadi chef sekalian porter 😀
seru…he.he.he..gondes artinya apa Via ?
jadi, siapakah orang yg nowel2 itu??? *mo tau aje 😛
nunggu lanjutannya :)eh buah markisa kalo dibuat sirup uenakkk tenan lho mbak, atau di cong pake air hangat, tambahin gula dikit. di rumah ibu di magetan, punya pohon markisa di halaman, asyikkk kalo dah mateng tinggal petik, tapi kadang yo gak uman sama anak-anak yang lewat, petak petik aja padahal belum mateng 🙂
Cap jae??? Itu sodaranya Cap cay?
ceritamu selalu bikin seneng dan penasaran mbak..ditunggu sambungannya 😀
mbaa kalo malan marqisa itu apanya yang dimakan yah? kan biji semua tuuh.. bijinya ikut ditelen gitu?
iya mba evi kemana saja sihhhhhhhhhhhhh?? jarang keliatannnn…kangen seblak2 🙂
hiahahahaha, baca gondes jadi inget masa muda jaman smp-sma waktu di sbyjaman itu gondes ngetrend banget yah, xixixi
Mbaviiii.. Keren bangeetttt… Aku ngeces baca perjalanannya itu…
dari awal baca tulisan ini udah senyam senyum.dan makin ngikik pas di bagian yang ini …
wuiiii asik bener nih kerjaannyamemang ya kerja sesuai hobi itu selalu menyenagkandapat bonus jalan-jalan dan buah segar tentunyabagian memasak dan angkat ransel mahanggap saja sebagai latihan buat otot haha
iyo, mbiyen ki nek nyeluk mantep. ndas ndes ndas ndes.
kalau gendis artinya gula Tin. Itu bahasa Jawa alus.sepupunya orang Jawa ya?hampir semua buah aku suka Tin.
Wenak tenan sing nyeluk yoo Ndeesss gondes..
gondes!kaya nama sepupuku gendis.. woah jadi tahu kesukaannya m.evia.. markisa..
hahahaha…iyo.
ya mending, ada meskipun mahal. Tapi biasanya musim2an. Kalau lagi musim, banjir. Iya, kalau ke pelosok dan banyak pohon buah2an, tinggal metik doang.
Biyen rambutku gondrong.. sak pundak, terus pas nang kene sring gondol akhire.. tetep gondes [gondol ndeso] hahaha
di toko buah ada sih, Mbaklarang tapine :>kayaknya jalan-jalan ke pelosok trus dapet metik buah-buah gitu enak ya *pengen jalan-jalan*
rambutmu gondrong tah?
hahahaha…Iki kerjoan bar buyar proyek neng Duri.
pantees.. gak kenal.. :))
Iyoo hehehe, dulur2ku karo tonggo cedek thok sing nyeluk gondes..
Enggak mbak Ning. Rumahnya di Bali.
Tunggu mood berikutnya. Hehehehe…
Nganti saiki?
Susah gak di Jakarta ngedapetin markisa?
Rumah pak Sukanaya di Duri?
tunggu sekuel berikutnya
Weleh celukane Gondes.. kok podo mak?nang omah aku celukane GONDES.
aku mau markisaaaaaaaaaaaaaa(^O^)/
lagi sok sibuk mas Farid.
digawe bojoku.
Hahahahah…..iyoooootepatnya gondrong ndeso.
Iya nih, Mbak Evia kok jarang nongol sekarang yah? Sibuk banget yah?
saduk saduk.
Lha iku sing enkoos kok online.. yawes… met istirahat
towel towel = anduk anduk.
Gondrong Desa :-p
neng kene. heheheheh…
Eh, wis klimaks tah rupane..aseeekkk
Sepak2
gak online. bar ngene turu jeh. parak isuk iki jeh.
Senggol2
Towel2
Nang endi ae Mbak??
Mak.. tak sopo nang Sky..