Saya bermain main dengan kamera sejak SMP (puluhan tahun silam). Kamera pertama saya adalah Ricoh, lupa tipenya. Bukan kamera saya sih sebetulnya, tapi kamera keluarga, hanya saja saya yang punya keinginan untuk utak atik dan menggunakannya dengan maksimal ketimbang anggota keluarga lainnya. Pas kebetulan di masa SMP itu pula saya mulai menekuni hobi jalan jalan dengan cara backpacker. Bukan karena gaya gayaan atau sedang ngetrend tapi karena gak punya duit sedangkan keinginan nglayapnya sangat kuat.
Sayangnya foto foto hasil jepretan saya tersebut banyak yang kececeran dan akhirnya hilang. Kalaupun ada negatifnya, pada berjamur. Urusan perawatan dan simpan menyimpan, saya memang paling parah. Tahun demi tahun berlalu, kamera sayapun juga sering berganti dengan merek yang beraneka ragam dan kebanyakan kamera jenis point and shoot karena tujuannya memang hanya untuk dokumentasi.
Saya gak memiliki fanatisme berlebihan akan merek kamera. Sempet juga membeli kamera SLR, tapi saya hibahkan ke teman yang lebih membutuhkan.
Pertengahan tahun 2005, ayah mertua saya menghibahkan ke saya kamera SLR dan segala asesorisnya yang segambreng termasuk dua lensa (Beliau rajin menulis di sejumlah jurnal kedokteran dan foto fotonya melengkapi artikel2 yang ditulisnya. Itu salah satu sebabnya mengapa beliau memiliki lensa makro, lensa yang juga menjadi kesayangan saya. Lensanya sudah tua *mungkin lebih tua dari saya*, bukan lensa otomatis, cari fokusnya kudu sabar karena manual. Tapi hasilnya enggak kalah dengan lensa keluaran terbaru. Beberapa contoh hasil jepretan dengan menggunakan lensa gaek itu.
Enggak lama setelah itu, KSB membelikan sebuah kamera digital SLR dengan merek yang sama dengan kamera hibah dari bapak mertua. Alasannya, karena lensa lensanya sudah ada dan supaya lensa2 tersebut bisa tetap digunakan, dibelikanlah kamera yang bermerek sama.
Semenjak itulah saya mulai mengoprek lebih intens, jauh lebih serius dibandingkan sebelumnya. Ada keasikan tersendiri. Karena digital, gak perlu bingung urusan ongkos cetak dan urusan penyimpanan foto. Enggak suka tinggal hapus. Menyimpannya juga tidak memakan banyak tempat.
Dari tahun 2005 hingga sekarang, . . .
Klik di halaman dua untuk membaca lanjutannya.
Awet juga ya kameranya dari 2005 sampe skrg. Foto2nya juga bagus. Kayaknya hasil foto memang nggak tergantung kamera, tapi lebih ke kemampuan fotografernya
ternyata ada darah photographer sejak kecil. apalagi dapet dukungan mertua. berasa hidup udah lengkap. hasilnya bagus, mas. kalo pakai kamera hape atau kamera pocket, gak mungkin bisa dapet hasil sebagus itu, kecuali diedit dulu
darah fotografer, enggak jugalah mas. Dulu kan memotret hanya untuk dokumentasi. Urusan kualitas gak diperhatikan.
Mengenai kamera hape atau kamera poket yang gak mungkin menghasilkan hasil bagus, wah sampeyan salah besar mas. Banyak foto2 bagus yang dihasilkan dari kamera poket dan kamera hape. Bisa dilihat salah satunya di album saya: https://enkoos.wordpress.com/2012/10/04/kamera-poket-bisa-menghasilkan-foto-yang-wow/
Itu baru punya saya ya. Belum saya kasih contoh foto2nya orang lain yang kemampuannya jauh di atas saya. Saya mah gak ada apa apanya.
Kamera hanyalah alat, yang lebih menentukan adalah orang yang mengoperasikan kameranya. Kamera canggih, kalau dipegang bukan orang yang tepat, hasilnya ya gak bagus. Sebaliknya cuma kamera hape atau kamera poket tapi kalau di tangah orang yang tepat, hasilnya bikin kagum.
Gambarnya bagus bagus, dikau memang talented Via 🙂
Makasih Ed.
Gimana anakmu, jadi beli kamera?
Meng ngemeng, dirimu kok jarang ngoceh lagi?
Dulu di MP rajin sekali.
Berarti wajib nulis tips-tips motret di blog ini, donggggg. He he he 🙂
*garuk garuk jidat*
Lisan ae, luwih enak.
Bahasa tulis lebih susah daripada bahasa lisan.
Weeekkkk 🙂
Kalau begitu, bikin video tutorial di Youtube. Piye?
Tak tantang sisan. 🙂
Vi, aku selalu menikmati foto2mu yang cantik2. semoga makin lancar rejekinya ya
Makasih yo mbak Ine. Begitu juga mbak Ine semoga makin lancar dengan usaha makanannya.
Berhasil masuk final kontes internasional itu menurutku sudah sesuatu banget.
Sampeyan pernah bikin jepretan tentang nilai-nilai kemanusiaan? Mestinya sampeyan juga layak dapat Pulitzer Prize untuk jepretan-jepretan tentang potret kemanusiaan, karena pasti tajam & fokus hasilnya.
*ternyata KSB dibawa juga ke WordPress 🙂
Hahahahaha… wis kadung enak nyebut KSB.
Kalau pengen dapet Pulitzer Price, minimal kudu jadi jurnalis dulu cak Iwan, karena salah satu syaratnya, foto2nya dimuat di salah satu media harian atau mingguan di Amerika. Majalah gak termasuk.
Ah keren banget hasil jepretannya! Langsung klik ke page selanjutnya 🙂
Selamat menikmati jepretan saya 😀
Dan terima kasih atas apresiasinya.
*Kok kayak pidato* Huehehehehe..
haduh fotonyaaa… keren pisaaann
Lho??
Kok haduh, kayak orang jatuh 😀
jatuh cinta sama fotonya. hihi
Tinggal saya yang klepek klepek. qiqiqiqiqi..
Cuma bisa geleng-geleng kepala… kereeen.. kereeen.. dan kereeen, kreatip !!
Cuma bisa mengangguk angguk kelapa… eh kepala, suwun matur nuwun, nuhun. 😛
bagus eui hasil pake lensa makronya.. lensa type apa tuh? sampai sekarang belum punya lensa makro nih….
Lensa yang kecil itu lho Hen.
Nikon 55mm f 1/3.5.
Aku barusan menang bidding nih di Ebay. Ngebid lensa 50mm f/1.8D. Harga pasaran yang baru $124 – $130.
Aku dapet $78, udah termasuk ongkos kirim. Bekas sih, tapi harga segitu udah lumayan.
Eh barusan ada penawaran lagi, persis sama tapi made in Japan. Aku lagi ngebid nih. Kalau ini menang, yang $78 mau aku jual, kalau made in China.