Menemukan makanan favorit yang dulunya sering dikonsumsi dan sangat mudah ditemukan dimana mana namun kini sangat sulit mendapatkannya di tempat tinggal yang baru tentunya sangat menyenangkan dan ahโฆ susah diterjemahkan dengan kata kata.
Baru baru ini saya menemukan buah rambutan. Rambutann, iya rambutan!! Ah biasa aja kali, gak usah lebay begitu reaksinya.
Coba bayangkan, di Indonesia kalau lagi musimnya, harga rambutan bisa Rp8,000 per ikat dimana per ikatnya berisi lebih dari 10 biji, mungkin 15 atau bahkan 20. Bandingkan dengan situasi di kota Duluth, Minnesota dimana musim dinginnya bisa dikatakan 6 bulan, musim tanamnya sakโicrit saja, cuma bisa nanam tanaman yang umurnya pendek [hitungan bulan]. Boro boro nanem rambutan yang berupa pohon, lha wong nanem jeruk purut yang imut dan kangkung yang seperti semak aja kudu dikekepin di dalam rumah bila sudah memasuki musim gugur kalau gak pengen tanemannya mati kedinginan.
Apalagi Duluth kota kecil, gak ada Asian Market. Buah tropis bangsa manggis, jambu air, buah naga dan kawan kawannya, mimpi aja deh. Ada sih papaya, nanas, pisang, yang tentunya impor. Mangga juga ada, impor dari Mexico. Rasanya? Gak ada seujung kukunya dibandingkan dengan mangga arum manis dari Probolinggo.
Memasuki musim panas, buah buahan dan sayur sayuran mulai banyak jenisnya memasuki pasar. Yang tadinya itu itu aja seperti apel, stroberi, anggur, jeruk yang tentunya didatangkan dari negara bagian lain, memasuki musim semi mulai ada buah pir, kiwi, peach, nectarine, ceri dan kawan kawannya. Di bagian buah buahan tropis kadang muncul buah naga dan markisa, tapi saya gak pernah beli. Nggak enak blas. Lebih baik beli buah buahan lokal, walaupun yahhh itungannya gak lokal lokal banget karena dari negara bagian lain. Lebih baik kan ketimbang impor dari negara lain yang dipetiknya jauh sebelum matang. Pantes kalau rasanya gak ngalor gak ngidul.
Nah, tadi malam sewaktu saya belanja di koperasi langganan, nemu rambutan. Belum tentu tiap musim panas ada rambutan. Sekalinya ada, stoknya sedikit, gak sampe sepuluh kotak dan per kotaknya ada 16 butir dengan berat 1 pound [gak sampe setengah kilo]. Harga per kotak $7.69.
Yang membuat saya bangga adalah, namanya tetap rambutan meskipun tumbuh di Guatemala. Kadang pula ditulis ramboutan karena menyesuaikan ejaan bahasa Perancis.
Terus jadi beli meskipun harganya berlipat lipat dibanding dengan harga di Indonesia? Ya iyalah, malah saya beli dua kotak. Karena yang sekotak saya berikan ke para ponakan yang mulai ketagihan dengan makanan dari Indonesia.
emang ya, disini jg rambutan seuprit harganya selangit, berasa benda berharga ๐
Seumur tinggal di sini, baru sekali beli rambutan, cuman sebungkus itu juga, isinya cuman 8 biji doang, cuman buat ngilangin kekangenan sama si buah berambut ini ๐
Di sini maksudnya dimana?
Eh Rosi tinggal dimana tho? Bukan Bandung kan?
woooohh aku kangen rambutaaann… blm musim nnagkene hohoho
Ndek kene musim terus, impor soko Guatemala. Hehehehe.
up to 70 ribu harga sekotaknya, wow mihil
etapi pas di arab jg rambutan mahal,
tetep dibeli juga demi kangen.
apa kabar mbak?
kemarin saya lihat2 foto kopdar pas di kafe coklat, pas buka blog hari ini pas banget mbak posting ๐
oh ya mbak mohon maaf lahir batin ๐
Hai Diah. Alhamdulillah kabar baik.
Namanya kangen, mahal mahal juga dijabanin, gak tiap hari kan.
Eh dirimu dateng juga di kafe coklat? sing endi tho? Maaf lahir batin. ๐
hiks, yang pake kudung pink mbak ๐ฆ
mbak ini saya repost di blog saya yg di bs
http://www.syauqiya.com/2015/09/memory-multiply-kopdar-di-cafe-coklat.html
smg bisa mengingatkan ๐