Tahun 2017 ditutup dengan 100 kali terbang, angka bulat seratus, gak lebih gak kurang. Jauh lebih banyak dibanding 2016 yang hanya 35 kali terbang. Maklum sajalah, 2016 masih pegang dua kerjaan. Mengatur jadwal kerja aja keteteran apalagi nylinthung buat ngelayap.
Sedangkan 2018 yang belum sebulan berjalan, sudah mencatat 3 kali terbang, sisa dari perjalanan mudik ke tanah air di ujung 2017.
Total jendral sejak berkarir di bandara dari akhir 2015 adalah 138 kali terbang di 29 bandara di berbagai sudut dunia, sebagian besar di Amerika, dan sebagiannya lagi di kota kota di Asia.
Gratis tis tis. Tapi tidak termasuk penerbangan domestik di tanah air karena mbayar. Meski gratis tapi ada pengorbanan yang saya bayar. Beberapa diantaranya adalah bangun pagi pagi buta kalau dapet shift pagi, pulang menjelang jago kluruk kalau dapet shift malam, mirip jam kerjanya maling. Belum lagi kalau sudah memasuki musim dingin, dan ini Duluth dimana musim dinginnya bisa berlangsung enam bulan. Saat brutal brutalnya musim dingin, suhu udara bisa mencapai -40F. Seluruh bagian tubuh tertutup, dari ujung kepala hingga ujung kaki dengan bahan tebal yang hangat dan gak tembus angin, tanpa meninggalkan seincipun kulit terbuka dan terpapar angin.
Bagaimana dengan muka? Sama saja. Mata pake goggle (kacamata buat main ski), kepala tertutup balaclava (saya nyebutnya ninja, penutup kepala sampe leher, yang terbuka bagian mata hingga mulut. Bagian mulut bisa dinaikkan diturunkan karena ada katup bertali. Lumayan kenceng kalau nutup).
Kenapa pake semua itu? Karena saya bertugas di luar, mempersiapkan semua hal menjelang pesawat datang, menangani bagasinya, hingga mempersiapkan semua hal saat pesawat akan pergi. Gak ngurusi tiket atau penumpang? Kan enak kalau winter gini, bisa anget di dalam, gak perlu kathuken berdingin dingin ria. Ogah. Saya mah mendingan kedinginan, toh kalau banyak bergerak gak begitu terasa, dan bagasi gak akan pernah ngomel, gak akan pernah komplen. Itung itung olahraga angkat beban kalau dilakukan dengan benar.
Beda dengan di bagian konter dan gate yang sering menghadapi penumpang yang kadang gak jelas apa maunya dan mengeluhkan hal hal yang gak masuk akal.
Semua kelelahan dan kerja keras tersebut berganti dengan napas lega dan rasa syukur saat saya duduk di kursi bisnis di rute penerbangan internasional. Di tahun 2017 sayapun berkesempatan pulang ke tanah air sebanyak tiga kali, hal yang rasanya tidak mungkin bakal bisa saya lakukan kalau kudu bayar. Mahal mbok. Di saat ibu saya mulai menapaki usia tua, Alhamdulillah diberi rejeki pekerjaan yang sesuai sehingga saya bisa menengok sesering yang saya mampu.
Trus, berapa kali mudik di tahun 2018 ini nanti? Kita liat saja nanti.
mauuu, seru euy bacanya 😀
Giling! Saya bacanya aja sudah capek oh nooooo
Percayalah, kalau dirasakan gak capek. Apalagi kalau dapet business class, legooooo.